3. Pernikahan Yang Dilarang

 


Pendahuluan

Islam sangat menjunjung tinggi ikatan pernikahan sebagai bentuk ibadah dan jalan untuk menjaga kehormatan diri. Namun tidak semua bentuk pernikahan diperbolehkan. Ada beberapa jenis pernikahan yang dilarang dalam syariat Islam, baik karena alasan hubungan darah, hukum syariat, atau kondisi tertentu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Dalam halaman ini, kita akan membahas secara rinci jenis-jenis pernikahan yang dilarang, beserta dalil dan alasannya.

1. Pernikahan dengan Mahram

Allah secara jelas melarang menikahi perempuan-perempuan tertentu dalam Al-Qur'an:

a. Mahram karena nasab (keturunan)
Tidak boleh menikahi:
  • Ibu
  • Anak perempuan (kandung dan tiri)
  • Saudara perempuan (kandung/seayah/seibu)
  • Bibi dari pihak ayah (amah)
  • Bibi dari pihak ibu (khalah)
  • Keponakan perempuan dari saudara laki-laki atau perempuan
Dalil:

"Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan..." (QS. An-Nisa: 23).

b. Mahram karena susuan
Seperti:
  • Ibu susuan
  • Saudara perempuan sepersusuan
Hadis Nabi SAW:
"Sesungguhnya penyusuan itu membuat haram (pernikahan) sebagaimana nasab (keturunan)." (HR. Bukhari dan Muslim)

c. Mahram karena pernikahan

  • Ibu mertua
  • Anak tiri (jika sudah menggauli ibunya)
  • Menantu perempuan (istri dari anak kandung)
  • Istri ayah (ibu tiri), istri anak

2. Pernikahan dalam masa iddah

Seorang wanita yang sedang dalam masa iddah (baik karena cerai atau ditinggal wafat suami) tidak boleh dinikahi oleh laki-laki lain hingga masa iddahnya selesai.

Dalil:
"Dan janganlah kamu berazam untuk menikahi mereka sebelum iddahnya selesai." (QS. Al-Baqarah: 235).

3. Pernikahan Mut'ah

Nikah mut’ah adalah pernikahan yang dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya hanya untuk beberapa hari atau minggu, lalu otomatis bercerai setelah itu.

Ini adalah bentuk pernikahan yang dahulu pernah diizinkan dalam kondisi darurat, namun telah diharamkan secara tegas oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Hadis:
"Sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, dan sekarang Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat." (HR. Muslim)

4. Pernikahan Muhalil

Yaitu seorang laki-laki menikahi wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya, dengan niat agar wanita itu bisa kembali ke suami pertamanya setelah ia menceraikannya.
Ini dilarang dan termasuk dosa, bahkan pelakunya disebut "pejantan pinjaman".

Hadis:
"Allah melaknat muhallil dan muhallal lahu." (HR. Ahmad, Abu Dawud)

5. Pernikahan tanpa wali

Dalam Islam, pernikahan tidak sah tanpa wali perempuan.

Hadis Nabi:
"Tidak sah nikah tanpa wali." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dinilai sahih)

Jika seorang wanita menikah tanpa izin walinya, maka nikah tersebut tidak dianggap sah menurut mayoritas ulama (Jumhur).

6. Pernikahan dengan orang musyrik

Perempuan Muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, baik musyrik maupun ahli kitab (Yahudi/Nasrani).

Dalil:
"Dan janganlah kamu nikahkan wanita-wanita (Muslimah) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman." (QS. Al-Baqarah: 221).

Namun, laki-laki Muslim dibolehkan menikahi perempuan ahli kitab (Yahudi/Nasrani) yang suci, walau tetap dianjurkan memilih pasangan seiman.

7. Pernikahan yang disertai tipu daya atau paksaan

Pernikahan yang dilangsungkan dengan paksaan, baik dari wali maupun pihak lain, atau dengan penipuan yang menutup informasi penting (seperti identitas, agama, atau kondisi fisik), maka dianggap tidak sah atau bisa dibatalkan.

8. Pernikahan sedarah

Selain yang disebut dalam Al-Qur’an dan hadis, para ulama juga mengharamkan pernikahan yang mendekati incest atau hubungan yang tidak layak, misalnya:

  • Menikahi istri mantan ayah angkat
  • Menikahi ibu tiri yang pernah tinggal serumah dan membesarkan anak itu seperti ibu kandung

Meski tidak disebutkan eksplisit dalam teks, hal tersebut masuk dalam larangan karena ‘urf (kebiasaan) dan kemaslahatan.

Penutup
Islam melarang beberapa jenis pernikahan demi menjaga kemuliaan manusia, melindungi keturunan, dan menegakkan akhlak mulia. Larangan tersebut bukan semata pembatasan, tetapi bentuk kasih sayang Allah agar rumah tangga dibangun atas dasar keimanan, tanggung jawab, dan kejujuran.
Sebagai Muslim, kita wajib memahami dan berhati-hati agar tidak jatuh pada bentuk pernikahan yang dilarang. Jika ragu, sebaiknya berkonsultasi dengan ulama atau kantor urusan agama setempat.

Komentar